Contoh Cerpen Aku dan Dia

Posted on

Pagi yang sunyi dan sejuk itu menjadi saksi bisu tentang aku dan dia. Hubungan kami terjalin mesra sekali. Seperti
biasa sekitar jam 07.00 WIB kami bersama-sama berangkat ke kantor. Terlebih dahulu kuantar Desta ke kantornya, kemudian kulanjutkan perjalanan menuju kantorku. Semua berjalan baikbaik saja, sama seperti hari-hari sebelumnya.
Setiba di kantor, direktur kantor langsung memanggilku untuk membicarakan tentang rencana perusahaan. “Hendra,
sebagaimana rencana perusahaan yang akan mengembangkan sayapnya di Indonesia bagian timur dan perlunya tenaga yang handal untuk menjalankan rencana tersebut maka kami memutuskan menugaskanmu untuk menjalankan rencana ini,” jelas Pak James padaku.

Contoh Cerpen Aku dan Dia
Contoh Cerpen Aku dan Dia

Mendengar hal itu, aku pun terdiam dan sontak tak dapat berkata-kata. Kemudian kujawab, “baik pak, beri saya waktu
beberapa hari untuk memikirkannya.”
“Baik, tidak apa-apa. Yang penting minggu depan sudah ada jawaban. Sebab bulan depan kamu harus mulai mengurus kepindahanmu.”
Mendengar bahwa bulan depan harus pindah membuatku semakin terdiam dalam kebingungan. Lantas kujawab, “baik pak akan saya pertimbangkan.”
“Silahkan dipertimbangkan.”
“Terima kasih Pak, saya permisi kembali bekerja.”
Akupun kembali ke ruang kerja, sambil memikirkan apa yang disampaikan oleh Pak James. Aku menjadi semakin bingung untuk mengambil keputusan, setelah apa yang terjadi antara aku dan Desta pagi tadi sebelum berangkat kerja. Sepanjang hari kegelisahan melandaku, sampai-sampai pekerjaanku tidak ada yang beres.

Tepat jam 16.00 WIB, jam kantor telah usai dan telah waktunya untuk kujemput Desta. Tiba di kantor Desta, kutunggu ia beberapa menit sebab ia belum keluar dari kantornya.
Tak lama kemudian, “Hai… Hendra, tunggu siapa?” sapa Ferisa, teman lamaku di SMA.
“Hai… juga, aku tunggu Desta. Seperti biasa ku harus jemput dia pulang dari kantornya.”
“Oh… ya, sepertinya dia masih ada metting tadi. Tunggu saja, sebentar lagi dia pulang.”
“Oke… oke, tidak apa-apa kok.”
“Aku duluan ya!” pamit Ferisa.
“Oh… ya, silahkan,” balasku.
Tak lama sesudah itu, seperti yang disampaikan Ferisa, Desta pun keluar dari kantornya. Kali ini ia keluar kantor dengan wajah yang tak seperti biasanya. Kami pun saling sapa dan melanjutkan perjalanan pulang. Ku antar Desta ke rumahnya dengan tidak banyak berbicara sebab aku ragu untuk membicarakan apa yang terjadi di kantor pagi itu.

Sepanjang malam aku mulai gelisah dan ragu untuk mengambil keputusan. Ya keputusan untuk pindah atau melanjutkan rencana yang telah dibicarakan dengan Desta pagi itu.
Jika menolak pindah, maka kemungkinan aku akan kehilangan pekerjaan. Sementara rencana kami? Entahlah, hatiku semakin gelisah. Kuputuskan untuk segera tidur walau sulit untuk memejamkan mata.

* * *

Keesokan harinya, kembali kujemput Desta di rumahnya dan kami sama-sama sarapan di sebuah warung pinggir jalan. Sama seperti kemarin saat pulang kantor, wajahnya tak menunjukkan sukacita. Ku beranikan diri untuk bertanya, “Des, ada masalah?”
“Tidak apa-apa kok.”
“Tapi wajahmu kok murung?”
“Hanya ada sedikit masalah kecil saja kok.”
“Apakah itu tentang kita?”
“Ya, sedikit,” jawab Desta singkat. “Ayo, entar kita telat ngantor,” lanjutnya, sambil mengajak bergegas berangkat.
Pembicaraan kami pun terputus, sebab aku masih ragu untuk mendalami masalahnya. Seperti biasa terlebih dahulu kuantar Desta ke kantornya, baru ku lanjut menuju kantorku. Setiba di kantor, Pak James kembali menanyaiku, “sudah dipikirkan?”
“Sudah Pak, tapi belum ada keputusan,” balasku singkat. Aku pun permisi menuju ruang kerja untuk menghindari pertanyaan selanjutnya.
Karena kegelisahan hati, ku mohon ijin pada Pak James untuk pulang lebih awal. Tak ku sangka, Desta juga meminta
untuk dijemput lebih awal.
Dalam perjalanan pulang, ku putuskan untuk mampir di sebuah taman.
“Des, minggu ini aku harus mengambil keputusan sulit.
Bersediakah kamu menolongku mengambil keputusan?”
“Keputusan apa?” tanya Desta singkat.

Baca Juga :  Landasan Teori

“Bulan depan ku diminta untuk pindah dan membuka cabang di Samarinda,” jelasku.
“Oh, ya?” sambut Desta antusias.
“Loh, kok antusias gitu?”
“Sebenarnya, aku pun diminta oleh pihak perusahaan untuk pindah ke Samarinda dan membuka cabang di kota itu dan harus pindah dua bulan lagi.”
Hatiku mulai lega, sebab kami akan pindah ke kota yang sama, sehingga apa yang kami bicarakan Senin pagi 4 September 2011 tetap akan berjalan walau sedikit perubahan. Akhirnya kami harus menyusun ulang rencana kami karena kemungkinan kami akan melaksanakan pernikahan kami di kota Samarinda.
Sesuatu yang tak ku duga. Ku pikir aku akan meninggalkannya dan kemungkinan akan berdampak pada hubungan kami. God is good all the time, itulah kalimat yang dapat kuucapkan setelah apa yang terjadi hari itu.

* * *

Satu tahun setelah kepindahan kami ke Samarinda, akhirnya kami melangsungkan pernikahan. Sama seperti pasangan yang baru menikah, kami mendambakan buah hati. Waktu itu, kami menyadari bahwa kami baru memulai sebuah bahtera kehidupan, tetapi saat ini pernikahan kami telah berjalan selama tiga
tahun. Untuk usia pernikahan tiga tahun seharusnya kami telah
memperoleh buah hati, tapi situasinya berbeda. Kemudian kucoba untuk membicarakannya dengan Desta.
“Des, ini adalah tahun ketiga pernikahan kita. Bagaimana jika kita konsultasi ke dokter kandungan?”
“Iya… Hen,” tak banyak berargumen, Desta pun mengiyakan ajakanku.
Pada malam hari itu kami akhirnya memutuskan untuk menemui seorang dokter spesialis kandungan yang cukup dikenal. Sambil menunggu antrian, aku dan Desta mulai gelisah.
Sementara aku mulai bertanya-tanya dalam hati, apa yang menyebabkan istriku belum mengandung juga?
Tak lama kemudian tibalah giliran kami untuk berkonsultasi.
“Apa masalahnya Bu, Pak?” tanya dokter Maria pada kami.
“Kami telah tiga tahun menikah, tetapi kami belum memperoleh buah hati juga,” balas Desta dengan segera.
“Baik jika demikian saya menyarankan untuk melakukan beberapa pemeriksaan,” jelas dokter Maria pada kami.
Kami pun menuruti sarannya dan keesokan harinya menuju sebuah rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan. Aku berkeyakinan bahwa ada masalah pada rahim istriku dan benar usai serangkaian pemeriksaan di rumah sakit ternyata ada kista di rahim istriku. Analisis dokter mengatakan bahwa hal itu menjadi salah satu penyebab Desta tidak bisa hamil. Oleh saran dokter rumah sakit, kami diminta untuk kembali menemui dokter spesialis yang menangani kami.
Karena berapa kesibukan, kami menunda kepergian ke dokter Maria, sampai satu waktu kami mulai sadar bahwa kami
harus segera berkonsultasi untuk tindakan selanjutnya. Kami pun memutuskan untuk pergi mengambil waktu pada malam Kamis, 4 September 2014 untuk mengonsultasikan hasil pemeriksaan atas Desta.

Baca Juga :  Soal Bahasa Indonesia Kelas 1

Kami akhirnya menemui dokter Maria di klinik miliknya.
“Selamat malam dok,” sapaku singkat.
“Selamat malam juga, boleh saya lihat laporan hasil pemeriksaannya?”
“Ini dok,” ucap Desta sambil menunjukkan semua laporan hasil pemeriksaannya kepada dokter Maria.
Dokter Maria pun mencermati laporan hasil pemeriksaan dan ia yakin bahwa jika Desta mengalami masalah dalam ramihnya. Ia pun menyarankan agar Desta menjalani terapi secara rutin sehingga memungkinkan untuk memperoleh buah hati. Kami pun secara rutin melakukan pemeriksaan dan terapi.

* * *

Telah dua tahun kami melakukan pemeriksaan dan terapi, tetapi tak ada hasil. Sampai satu malam, tepatnya 8 Agustus
2016, di meja makan.
“Des, aku mau tanya. Apakah keluargamu ada yang mandul?”
“Apa maksudmu Hen, tanya gitu?”
“Ya, siapa tahu ada riwayat seperti itu dalam keluargamu.”
Mendengar perkataanku, Desta meninggalkan meja makan dengan wajah yang muram.
Kupikir itu wajar saja, rupanya tak hanya malam itu wajahnya muram, tapi selama satu minggu majahnya tetap muram, ia tak bicara serta menyapaku. Kini kusadar, ini ada masalah.

* * *

Di Jumat malam saat kami kembali bersama-sama di meja makan, sebagai laki-laki dan kepala keluarga aku memberanikan diri untuk bicara padanya.
“Des, malam minggu ini kita makan di luar yuk!” ajakku sambil mencairkan suasana.
“Makan saja sendiri,” jawabnya ketus.
“Loh, kok gitu jawabanmu?”
“Coba kamu pikir bagaimana perasaanku saat kamu menanyakan pertanyaan itu.”
“Tapi…”
“Tapi apa? Kamu menghina keluargaku,” sahut Desta dengan mata memerah.
“Oke, oke, aku minta maaf jika itu menyinggung hatimu. Tapi aku tidak bermaksud demikian,” kucoba menenangkan sambil merangkulnya.
Situasi malam itu rupanya belum membuat perubahan, sampai kuputuskan untuk kembali mengajaknya melakukan pemeriksaan dan terapi. Hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa kondisi Desta baik-baik saja. Dokter Maria pun menyarankan kami untuk bersabar menunggu Ketidak sabaran kami membuat kami kembali berkonflik,
sampai-sampai situasi rumah tangga kami menjadi tidak kondusif. Kami akhirnya menjadi saling tuduh dan menyalahkan.

Baca Juga :  Contoh Cerpen

Mendekati akhir tahun kucoba hubungi Martha, kakak iparku. Kuceritakan semua masalah yang kami hadapi. Martha
kemudian menyarankan agar kami melakukan pemeriksaan menyeluruh dan termasuk diriku.
Mendengar saran dari Martha, kami pun mencari dokter spesialis kandungan lainnya. Bukan berarti kami meremehkan
dokter Maria, tetapi mencoba mencari second opinion saja.
Kami akhrinya menemui dokter Eva, seorang spealis kandungan yang pengalamannya cukup banyak. Di tempat praktiknya kami menceritakan apa yang terjadi. Melihat hasil pemeriksaan Desta, dokter Eva meminta kami berdua melakukan pemeriksaan ulang dan dokter Eva langsung melakukan pemeriksaannya. Ia menyimpulkan jika Desta sehat-sehat saja. Maka pemeriksaan terhadap diriku juga harus dilakukan. Serangkaian pemeriksaan harus dilalui selama satu minggu, mulai dari jantung, kolesterol, gula darah, dan lain sebagainya.

Hari Senin minggu berikut setelah melalui pemeriksaan, kami kembali menemui dokter Eva di tempat praktiknya.
“Maaf pak Hendra, hasil dari seluruh pemeriksaan menunjukkan jika bapak mengalami beberapa masalah dan sepertinya telah berlangsung cukup lama,” demikian penjelasan dokter Eva yang membuat Desta menatapku cukup lama.
“Lalu apa yang harus kami lakukan?” tanyaku.
“Penangannya perlu melibatkan dokter spesialis lainnya,” jelas dokter Eva. “Saya akan memberikan rekomendasi kepada dokter lainnya sehingga program untuk kehamilan ibu Desta dapat berjalan sesuai rencana,” jelasnya lagi.
Mengikuti saran dokter Eva kami kembali harus belajar bersabar. Tiga bulan menjalani terapi akhirnya membuahkan hasil, Desta pun hamil. Sukacita menghampiri kami sekeluarga.
“Des, akhirnya kita akan punya anak juga.”
“Syukur Pa.”
“Kira-kira jenis kelaminnya apa ya?”
“Tidak usah pikir jenis kelaminnya, yang penting Tuhan menganugerahkan kita anak,” ucap Desta.
Kami menjaga kehamilan Desta pada tiga bulan pertama, walau fisiknya semakin melemah. Karena kondisi fisiknya yang melemah, kuputuskan untuk membawanya ke IGD. Serangkaian penangananpun dilakukan, dokter Eva pun turut menangani.
Keesokan harinya, kondisi Desta telah membaik. Pagi hari itu dokter Eva melakukan pemeriksaan terhadap kondisi kandungan Desta. Tak lama kemudian perawat memintaku masuk ke ruang
pemeriksaan.
“Silahkan duduk pak,” ucap dokter Eva. “Kita perlu melakukan penanganan pada istri bapak.”
“Memang ada masalah apa dok?”
“Maaf pak, ini masalah molahidatidosa.”
Dokter pun menjelaskan apa itu molahidatidosa. Hatiku akhirnya menjadi kacau karena hal ini. Tidakan kuret harus
dilakukan. Dalam kegalauan hati, aku pun dikuatkan oleh sebuah perkataan, kamu boleh berencana, tapi Tuhan memiliki rencana lebih indah, pahamilah rencana Tuhan. Demikianlah pesan Whatshapp yang dikirimkan oleh Martha. Sejenak kurenungkan akhirnya ku sadar aku berncana, tapi Dia Sang Khalik berencana lain. Ingat pasti ada rencana Tuhan yang lebih indah, pesan dari Martha lagi. Sepertinya aku harus belajar memahami rencana Nya.